Jakarta, GenZ.id – TikTok, platform video pendek milik ByteDance, kembali menghadapi tekanan dari regulator Uni Eropa.
Kali ini, Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) menjatuhkan denda sebesar 530 juta euro atau sekitar Rp 9,8 triliun karena TikTok terbukti mengirim data pengguna dari wilayah Eropa ke China.
Graham Doyle, Wakil Komisaris DPC, menyampaikan bahwa TikTok dianggap melakukan pelanggaran berat terhadap General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku di Uni Eropa.
“Perputaran data pribadi TikTok ke China melanggar GDPR karena TikTok gagal memverifikasi, menjamin, dan menunjukkan bahwa data pribadi pengguna EEA, yang diakses dari jarak jauh oleh staf di China, diberikan tingkat perlindungan yang pada dasarnya setara dengan yang dijamin di UE,” tegas Doyle dalam pernyataannya.
Masalah Perlindungan Data yang Tidak Setara
Menurut DPC, data pengguna TikTok dari negara-negara EEA (European Economic Area) tidak mendapatkan perlindungan setara seperti standar yang dijamin di wilayah Uni Eropa. TikTok dinilai belum memperhitungkan secara memadai risiko yang muncul akibat perbedaan hukum, seperti aturan antiterorisme dan antispionase di China.
“TikTok tidak menangani potensi akses oleh otoritas Tiongkok ke data pribadi EEA berdasarkan undang-undang antiterorisme, antispionase, dan undang-undang Tiongkok lainnya yang secara material menyimpang dari standar UE,” jelas Doyle lagi.
Pengakuan TikTok Berbalik Arah dari Klaim Sebelumnya
Awalnya TikTok bersikeras bahwa data pengguna Eropa tidak pernah disimpan di server di China. Namun dalam proses investigasi, perusahaan mengakui bahwa pada Februari 2025, sebagian data pengguna Eropa ternyata sempat tersimpan di server yang berlokasi di Tiongkok.
Fakta ini tentu saja memunculkan pertanyaan besar terhadap integritas pernyataan TikTok sebelumnya, bahkan dianggap menyesatkan regulator.
TikTok dinilai telah memberikan informasi yang tidak sesuai, dan DPC menanggapi hal ini dengan sangat serius. Saat ini mereka bahkan mempertimbangkan langkah regulasi tambahan atas pelanggaran ini.
TikTok akan Mengajukan Banding
Pihak TikTok tak tinggal diam. Mereka menyatakan tidak sepakat dengan keputusan DPC dan berencana untuk mengajukan banding secara penuh atas denda tersebut.
Dalam sebuah unggahan blog resmi, Christine Grahn, Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah TikTok untuk Eropa, menyatakan bahwa keputusan ini tidak merefleksikan kondisi keamanan data TikTok saat ini, terutama setelah implementasi program Project Clover senilai 12 miliar euro yang sudah dimulai sejak 2023.
“Sebaliknya, hal itu berfokus pada periode tertentu dari beberapa tahun lalu, sebelum penerapan Clover pada tahun 2023 dan tidak mencerminkan perlindungan yang berlaku saat ini,” ungkap Grahn.
Grahn juga menambahkan bahwa TikTok belum pernah menerima permintaan akses data dari pemerintah China dan tidak pernah memberikan data pengguna Eropa kepada pihak berwenang Tiongkok.
Isu Data Makin Penting di Era Digital
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pengguna media sosial, terutama generasi muda, tentang pentingnya transparansi dan perlindungan data pribadi.
Dalam dunia yang semakin digital, informasi adalah kekuatan—dan pengelolaannya harus tunduk pada hukum serta etika yang ketat.
Kalau kamu pengguna aktif TikTok atau platform lainnya, penting banget untuk tahu bagaimana datamu digunakan dan dilindungi. Yuk, lebih kritis dan bijak dalam dunia digital!