Jakarta, GenZ.id – Jakarta sudah lama dikenal sebagai kota langganan banjir. Setiap musim hujan, beberapa wilayah di ibu kota hampir selalu terendam air.
Masalah ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, tetapi juga oleh kebiasaan buruk masyarakat yang sering membuang sampah sembarangan. Selain itu, sistem drainase yang kurang optimal dan banyaknya sungai yang melintasi kota semakin memperparah kondisi.
Menariknya, banjir di Jakarta bukanlah fenomena baru. Sejarah mencatat bahwa bencana ini sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5. Yuk, kita lihat bagaimana banjir melanda Jakarta dari masa ke masa!
Banjir di Zaman Tarumanegara
Bukti bahwa banjir sudah ada sejak zaman kerajaan dapat ditemukan pada Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta Utara pada 1878.
Prasasti ini mencatat bahwa Raja Purnawarman melakukan penggalian Kali Chandrabhaga (Bekasi) dan Kali Gomati (Tangerang) sebagai upaya mengatasi banjir dan mengairi lahan pertanian.
Ini menunjukkan bahwa banjir sudah menjadi masalah sejak dulu, dan solusi pengelolaan air sudah mulai diterapkan sejak saat itu.
Banjir Batavia Tahun 1621
Saat masih bernama Batavia di bawah kekuasaan VOC, Jakarta kembali diterjang banjir besar pada 1621. Banyak rumah warga yang terbuat dari kayu hanyut terbawa arus, dan jalanan yang belum beraspal semakin memperparah situasi.
Meski Belanda sudah mencoba membangun kanal sejak 1619, upaya tersebut gagal karena kurangnya pemahaman terhadap kondisi geografis Batavia.
Banjir Besar Tahun 1654
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker, banjir kembali melumpuhkan Batavia akibat hujan deras dan meluapnya Kali Ciliwung.
Kanal yang dibangun ternyata tidak berfungsi optimal karena tertutup oleh pasir dan sampah. Belanda mencoba memperbaikinya dengan menambah kanal, tetapi tetap gagal karena tidak adanya sistem pemeliharaan yang baik.
Banjir Tahun 1872 dan 1893
Saat Batavia dipimpin oleh Gubernur Jenderal James Louden, banjir kembali melanda akibat hujan deras dan drainase yang tersumbat.
Hal serupa terjadi pada 1893 ketika curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir berkepanjangan hingga hampir seluruh kota terendam air. Kondisi ini bahkan mengakibatkan banyak korban jiwa akibat penyakit seperti disentri, tifus, dan malaria yang menyebar karena air sumur yang tercemar.
Pembangunan Bendung Katulampa (1911) dan Banjir 1918
Pada 1911, Belanda mulai mengambil langkah serius dengan membangun Bendung Katulampa di Bogor sebagai sistem peringatan dini banjir di Jakarta.
Namun, itu belum cukup untuk mencegah banjir besar yang terjadi pada 1918, yang menyebabkan hampir seluruh Batavia terendam air selama berhari-hari. Upaya kanal tetap tidak efektif karena tersumbat lumpur dan sampah.
Rencana Van Breen (1920) dan Banjir 1932
Pada 1920, pemerintah kolonial menyusun Rencana Van Breen untuk memperbaiki tata air kota dan mengurangi risiko banjir. Rencana ini termasuk pembangunan kanal baru yang melintang untuk mengalirkan air lebih baik. Namun, minimnya anggaran membuat proyek ini berjalan lambat.
Pada 1932, banjir besar kembali terjadi, dan kali ini mendapat perhatian besar dari media. Salah satu berita yang terkenal adalah dari surat kabar The Orient yang melaporkan kondisi banjir di wilayah yang saat ini dikenal dengan Jalan Sabang, yang saat itu merupakan pusat pertokoan dan tempat nongkrong anak muda.
Banjir bandang itu bahkan menerjang Istana Merdeka atau pada zaman itu disebut Istana Gubernur Jenderal Koningsplein.
Banjir Besar Tahun 1970
Setelah Indonesia merdeka, kerja-kerja untuk mengatasi banjir terus dilakukan. Namun upaya Presiden Soekarno dalam mengatasi banjir ternyata belum mampu menghilangkan masalah ini sepenuhnya. Pada 1970, Jakarta kembali diterjang banjir besar yang menggenangi banyak kawasan penting, termasuk yang berada di sekitar Istana Merdeka.
Banjir saat itu begitu parah hingga menyebabkan pemadaman listrik di seluruh kota. Genangan air bervariasi antara 20 sentimeter hingga 2 meter. Bahkan, kawasan Monas ikut terendam. Situasi ini membuat Presiden Soeharto harus meninjau langsung kondisi Jakarta dengan menggunakan helikopter.
Banjir Parah Tahun 2002
Memasuki era reformasi, Jakarta masih harus berhadapan dengan bencana banjir besar. Pada Februari 2002, kawasan Istana Merdeka kembali terendam air akibat curah hujan yang turun tanpa henti sejak 26 Januari hingga 1 Februari 2002. Meluapnya sungai dan sistem drainase yang tak mampu menampung air semakin memperparah kondisi.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (1997-2007), banjir kali ini merendam 42 kecamatan di Jakarta yang mencakup 168 kelurahan, atau sekitar 63,4 persen dari total kelurahan di ibu kota. Luas genangan mencapai 16.041 hektar atau sekitar 24,25 persen dari luas DKI Jakarta, dengan ketinggian air yang mencapai 5 meter di beberapa titik.
Banjir di Era Jokowi: 2014 dan 2016
Banjir tetap menjadi permasalahan utama Jakarta, bahkan ketika Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pada 2014, kawasan sekitar Jalan Medan Merdeka terendam akibat meluapnya gorong-gorong setelah hujan deras mengguyur ibu kota.
Jokowi menyebutkan bahwa banjir di sekitar Istana Merdeka disebabkan oleh intensitas hujan yang sangat tinggi sehari sebelumnya. Sementara itu, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menilai bahwa seharusnya banjir ini tidak perlu terjadi jika saluran air berfungsi dengan baik. Ia menyoroti bahwa penumpukan sampah di gorong-gorong menjadi salah satu penyebab utama genangan air di area tersebut.
Namun, masalah ini tidak berhenti di situ. Pada tahun-tahun berikutnya, terutama di 2015 dan 2016, kawasan Istana Merdeka kembali dikepung banjir saat musim hujan tiba. Ini menjadi bukti bahwa sistem drainase Jakarta masih perlu pembenahan serius.