Jakarta, GenZ.id – Kabar mengejutkan datang dari Filipina! Mantan Presiden Rodrigo Duterte resmi ditangkap oleh kepolisian setempat atas surat perintah yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Ia ditangkap setibanya di Bandara Manila usai perjalanan dari Hong Kong.
Ditangkap atas Dugaan Kejahatan HAM
Duterte menjadi sorotan dunia sejak menjabat sebagai Presiden Filipina pada 2016 hingga 2022. Kebijakan kontroversialnya, yaitu “perang melawan narkoba”, disebut telah menyebabkan ribuan orang kehilangan nyawa.
Penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM ini sudah dimulai sejak 2016 dan pada 2021 ICC resmi melakukan investigasi lebih lanjut.
Setelah penangkapannya, Duterte dengan tegas mempertanyakan dasar hukum yang membuatnya harus ditahan. “Kejahatan apa yang telah saya lakukan?” ujarnya.
Penolakan dan Kontroversi
Penangkapan Duterte mendapat respons keras dari mantan juru bicara kepresidenannya, Salvador Panelo. Ia menilai tindakan ini tidak sah karena Filipina telah menarik diri dari keanggotaan ICC pada 2019.
Namun, ICC tetap berpegang pada yurisdiksi mereka terhadap kejahatan yang terjadi sebelum negara tersebut keluar dari perjanjian internasional.
Sebaliknya, kelompok HAM internasional justru menyambut baik penangkapan ini. Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina menyebut momen ini sebagai langkah besar menuju keadilan bagi para korban kebijakan Duterte.
“Hari ini adalah awal dari akuntabilitas atas pembunuhan massal yang dilakukan selama pemerintahannya,” ujar Ketua ICHRP, Peter Murphy.
Duterte dan Perang Melawan Narkoba
Duterte dikenal dengan kebijakan ekstrem dalam memberantas narkoba. Ia pernah secara terbuka membandingkan dirinya dengan Adolf Hitler dan mengatakan bahwa ia siap untuk membantai jutaan pecandu narkoba di negaranya.
Berdasarkan catatan resmi, sekitar 6.248 orang tewas dalam operasi polisi dari Juli 2016 hingga April 2022. Namun, berbagai kelompok HAM memperkirakan jumlah korban sebenarnya bisa mencapai lebih dari 30.000 orang.
Beberapa laporan bahkan menyebutkan bahwa banyak pembunuhan dilakukan oleh orang-orang bertopeng yang disebut sebagai kelompok vigilante, yang diduga kuat adalah anggota kepolisian.
Dalam berbagai kesempatan, Duterte menegaskan bahwa ia tidak pernah menyesali kebijakannya. Bahkan dalam penyelidikan parlemen Oktober 2024 lalu, ia kembali membela dirinya. “Saya tidak meminta maaf, saya melakukan ini untuk negara saya,” tegasnya.
Masa Depan Duterte di ICC
Kini, Duterte harus menghadapi proses hukum di Mahkamah Pidana Internasional. Meski sebelumnya ia mengaku siap dipenjara, banyak pihak memperkirakan bahwa kasus ini akan menjadi pertempuran hukum panjang.
Di sisi lain, pemerintah Filipina masih dalam posisi sulit antara mendukung atau melepaskan mantan pemimpinnya ke ICC.
Apakah ini akan menjadi awal dari keadilan bagi para korban? Atau justru Duterte akan menemukan celah untuk lolos dari jerat hukum? Semua mata kini tertuju pada perkembangan kasus ini.